Saturday, September 14, 2013

Gundala Gawat, Superhero Indonesia!






Teater Gandrik asal kota pelajar, Yogyakarta ini kembali menghibur penikmat teater lewat lakon "Gundala Gawat". Penampilan Teater Gandrik di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta pada 26-27 April 2013 berhasil mengundang gelak tawa. Lakon ini disutradarai oleh Djaduk Ferianto, dan dimotori oleh Butet Kertaradjasa, Susilo Nugroho dkk. Selain itu kolaborasi antara Goenawan Mohamad, Agus Noor, Whany Dharmawan selaku penulis naskah membuat lakon ini kompak, lucu, dan santai.

Dari secara keseluruhan cerita dari lakon ini mengundang tawa. Bayangkanlah petir yang biasa kita lihat di langit kini dalam lakon Gundala Gawat dijadikan sebagai Superhero. Apakah ia sejenis dengan Batman, Spiderman, Catwoman dsb asal Amerika itu? Penasaran?






Petir menyambar-nyambar, memakan korban di berbagai tempat. Seperti wabah yang dapat membuat warga panik. Lebih rumit lagi, sambaran petir sepertinya memilih korban, selalu dari kalangan rakyat jelata. Demi meminta pertanggungjawaban, para korban mendatangi Rumah Gundala Sang Putra Petir. Awalnya warga mengira wabah petir adalah ulah Pak Petir, ayah Gundala. Namun cerita tidak lantas selesai, sebab orangtua Gundala bukanlah pelakunya. 

Lalu siapa pelakunya? Bisa jadi wabah petir bukanlah permasalahan utama, sebab setiap kali petir menyambar-nyambar, setiap kali pula perampokan bank terjadi. Lalu apa yang sesungguhnya terjadi?








Hasmi, pembuat komik yang mulai tua dan ringkih, mengundang para superhero yang telah lama menganggur. Datanglah Aquanus (Manusia Air). Pangeran Melar (superhero yang bisa memanjangkan tangan-tangannya), Jin Kartubi (Jin impor dari daratan Eropa-Spanyol), Sun Bo Kong (Manusia Kera) dan Gundala Putra Petir. Melalui “Pusat Pengerahan Tenaga Superhero”, ia ingin ikut mengurai permasalahan wabah petir yang sedang terjadi.

Pertemuan Hasmi dan para superhero di Pusat Pengerahan Tenaga Superhero berlangsung panas. Aquanus, Pangeran Melar, dan Jin Kartubi menuduh Gundala membuat cerita sendiri, melenceng dari komik buatan Si empu komik. Gundala marah dan merasa dipojokkan sebab dia sendiri adalah korban fitnah. Tiba-tiba Hasmi menemukan ide cemerlang, menawarkan tokoh baru sebagai solusi, Agen X9. Darinya, Hasmi dan para superhero mengetahui bahwa perampokan-perampokan yang terjadi selama ini adalah ulah Kelompok Harimau Lapar.






Menunggu lama, Hasmi segera memerintahkan para superhero menyusup, menyelidiki apa yang sesungguhnya terjadi dan diinginkan Kelompok Harimau Lapar. Sungguh sayang, pada penyusupan itu, para superhero tertangkap dengan mudah. Maklum, mereka sudah lama tidak bekerja, kemampuannya menjadi setara amatiran.

Singkat cerita walau lakon ini dibawakan dengan gaya guyonan namun Gundala Gawat tetap menyisihkan konflik-konflik atas nama agama, Tuhan, lembaga negara dan bahkan perkumpulan superhero itu sendiri. Lakon Gundala Gawat setidaknya memberikan sindiran politik secara kontekstual dengan kondisi di Indonesia yang dituangkan melalui pertunjukkan teater. Dramaturgi yang terbentuk menjadi penanda bagaimana emosi penonton ikut hanyut ke dalam semangat pertunjukkan. Dari awal hingga akhir pementasan ini, penonton dibuat terpingkal-pingkal melihat aksi Gundala Gawat serta teman-temannya.







Thursday, May 16, 2013

PASUNG JIWA

PERINGATAN 15 TAHUN REFORMASI
SASTRA DAN SENI UNTUK KEBEBASAN


Peringatan 15 Tahun Reformasi menjadi momentum bagi kita semua untuk kembali merefleksikan kondisi bangsa kita saat ini. Yayasan Muara, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan budaya untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dan kebebasan akan menyelenggarakan serangkaian kegiatan dalam rangka memperingati 15 tahun Reformasi dengan tema "Sastra dan Seni untuk Kebebasan". Acara ini diselenggarakan di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, 15 Mei 2013.


Acara peringatan 15 Tahun Reformasi ini juga bertepatan dengan peluncuran novel terbaru Okky Madasari, yang berjudul Pasung Jiwa. Sama dengan tiga novel sebelumnya, Pasung Jiwa tetap akan mengusung isu-isu kemanusiaan dan menyuarakan ketidakadilan dalam masyarakat.




"Pasung Jiwa mempertanyakan soal kebebasan individu dalam rentang periode sebelum reformasi dan sesudah reformasi. Dalam novel tersebut, dihadirkan fakta-fakta diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami warga negara dengan beragam latar belakang," kata Okky.



"Seluruh hidupku adalah perangkap"




Teater yang diangkat dari novel Okky Madasari ini dihadirkan di atas panggung oleh seniman-seniman teater yang sudah malang-melintang dalam bidang seni pertunjukan. 
Disutradarai Herry W. Nugroho dan R. Tono yang ditempa Bengkel Teater Rendra, Pasung Jiwa sebagai karya sastra diterjemahkan menjadi pertunjukan yang memikat. Pemain teaternya antara lain Maryam Supraba, bintang film Kisah 3 Titik, sekaligus putri bungu W.S Rendra.









Thursday, March 14, 2013

MELODRAMATIS LAKON SAMPEK ENGTAY


Kelompok kesenian nirlaba Teater Koma kembali mementaskan lakon cinta Cina klasik Sampek Engtay di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis (14/3). Lakon ini disadur kembali oleh N.Riantiarno selaku sutradara pada pementasan ini. Teater Koma menyajikan Sampek Engtay sebagai lakon melodramatis yang dikemas secara kocak, dan dibungkus dengan gerak dan musik. Lakon menjadi sebuah gurauan pahit tentang sepasang kekasih yang bercintaan. Inilah kisah tentang emansipasi yang kalah oleh tradisi.




"Maka dari itu, para penonton, jadikanlah setiap lelakon kita sebagai cermin. Supaya kita bisa semakin mengagumi bagaimana cara para dewa merangkai berbagai jalinan lakon manusia."


Lakon Sampek Engtay bisa menjadi sebuah cermin. Lakon ini bercerita tentang perempuan bernama Engtay yang menganggap diri kuat dan sanggup mengubah masa depan. Dengan berbagai akal, Engtay berhasil menyakinkan kedua orangtuanya bahwa sekolah itu penting dan baik. Akhirnya, gadis itu pun diizinkan pergi dari Serang menuntut ilmu ke Betawi. Engtay harus menyamar sebagai seorang lelaki muda. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan lelaki muda bernama Sampek. Pemuda itu berasal dari Padeglang menuntut ilmu di sekolah yang sama dengan Engtay. Lalu mereka berdua sepakat saling mengangkat sebagai saudara.




"Tapi mahluk apa itu kejujuran di mana batas jujur dan kebodohan atau ketika satu tujuan ditekuni yang lainnya jadi tak penting lagi? Aku hormat padanya sekaligus kasihan. Ibarat kucing, kedua matanya buta. Daging di depan mata dia biarkan dia kejar daging lain yang tak ada."



Mereka berdua ditempatkan di asrama. Penyamaran Engtay sebagai lelaki muda berhasil sehingga tidak seorang pun menyangka bahkan Sampek sendiri tidak tahu kalau dirinya itu perempuan. Seiring berjalannya waktu, asmara pun tumbuh pada diri Engtay. Dan akhirnya Engtay mengaku kepada Sampek untuk menceritakan kenyataan yang sebenarnya. Bahkan, Engtay sendiri nyaris menyerahkan kepada Sampek. Tapi Sampek tidak beruntung, cintanya harus kandas lantaran tepat saat dia siap mencinta, Engtay dipanggil pulang oleh keluarganya.




"Bulan dan mentari pasangan alam abadi. Kembang dan kumbangnya saling membutuhkan cinta. Sepasang angsa di kolam, kita berdua di sini dekat, berpandangan."

Sebelum pergi kembali ke kampung halamannya, Engtay meminta Sampek agar lekas datang melamar dirinya. Sampek pun berjanji akan menepati keinginan Engtay. Hanya satu tekad berkobar di hati Sampek, menjadikan Engtay sebagai istrinya. Pada hari yang telah ditentukan, Sampek pun berangkat ke Serang untuk menyongsong sang gadis impian, Engtay.











"Hidup atau Mati, aku ingin selalu bersamamu. Tiada yang sanggup memisahkan cinta kita. Juga tidak kematian."